Sabtu, 18 Juli 2009

POLITISASI POLITIK



Kita mulai jengah dengan petinggi Indonesia Raya ini, betapa tidak? para petinggi pasca Pemilu n Pilpres mulai melakukan serangan statmen politik bahkan versi Pemerintahan SBY, lawan-lawan politiknya adalah 'dalang' dibalik serangan "Sabtu Kelabu" di Mega Kuningan pertengahan Juli 2009 ini.

Betapa tidak, begitu tidak sehat pertarungan politik 2009 ini. Padahal kinerja mereka yang duduk di legislatif maupun eksekutif sampai sekarang belum mampu merubah nasib ratusan juta Rakyat Indonesia. Mungkin sebagian kecil iya? merekalah yang merasa kantong sakunya tidak dapat diganggu gugat.

Tapi haruskah demi kepuasan "zoon politikum" sang pememimpin kita menghilangankan nyawa puluhan manusia dengan semena-mena?haruskah demi "pengamanan kekuasaan" impian ratusan juta penonton MU & All Star harus kandas akibat dibatalkan? haruskah demi kekuasaan, Indonesia Raya ini di Cap tidak aman oleh dunia?

Senin, 14 Juli 2008

KETIKA ..CE’GU.. MENANTI KESEJAHTERAAN

(Melihat Guru di Jaman Sertifikasi)

”Selamat datang tahun ajaran 2008/2009...!”, demikian suara hati para penggiat dunia pendidikan baik kepala sekolah, siswa, guru tak lupa orang-tua maupun pemerintah sendiri. Ada banyak harapan bagi dunia pendidikan dimasa ini, tidak hanya berkaitan dengan akselerasi dunia pendidikan semata, namun yang tak luput dipikirkan adalah nasib kesejahteraan guru sendiri. Kenapa guru? Karena tidak lama lagi Pemilu legislatif dan Pilpres 2009 akan digelar, sudah pasti akan ada suara-suara lantang dari para jurkam maupun sang calon sendiri yang akan ”meneriakan” janji-janji terhadap kesejahteraan nasib para guru.

Ada pemeo kuno yang membuat para ’Ce’Gu’… (baca: Guru) mabuk kepayang adalah sosok yang ’Digugu’ dan ’Ditiru’ sehingga munculah pemeo turunannya ’Guru Adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’. Bahkan Andreas Hareva dalam bukunya ”Berguru Ke Matahari”, mendeskrifsikan bahwa seoarang guru dapat disimbolkan dalam watak delapan benda langit, yaitu (1) menjadi matahari yang menumbuhkan daya hidup, (2) bulan yang lembut dan memberikan harapan, (3) bintang yang menjadi teladan dan pedoman, (4) langit yang berjiwa besar, (5) angin yang harus menunggal sehingga mengerti betul dengan aspirasi, (6) api yang menghangatkan suasana dan tegas, (7) samudra yang harus bijaksana dan menyejukan, dan (8) tanah yang harus bersikap tangguh, murah hati dan suka beramal.

Tantangan dunia pendidikan kita semakin besar, Indonesia masih terbelit berbagai masalah, khususnya di daerah kita. Masalah pendidikan dimualai dari akselerasi pendidikan yang rendah, fasilitas pendidikan yang tidak memadai, sistem pendidikan yang labil hingga anggaran pendidikan yang masih terus dikurangi dibawah amanah UUD 1945. Belum lagi krisis ekonomi yang terus membelenggu kehidupan pribadi sang pendidik. Sehingga beban berat yang ditanggung seorang guru semakin kompleks, tidak semata-mata harus mencerna dunia pendidkan yang sedang mengalami pergeseran paradigma.

Menurut Makagiansar (1996) memasuki abad 21 pendidikan akan mengalami pergeseran perubahan paradigma yang meliputi pergeseran paradigma: (1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, (5) dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buta teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama.

Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan.
Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa.
Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.

Kini UU. No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah berlaku menjadi payung hukum bukan hanya untuk peningkatan kualifikasi, kompetensi, sertifikasi guru saja tetapi juga profesionalisme serta peningkatan kesejahteraan guru (katanya?). Dalam jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) Guru menguasai secara mendalam pada mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat.

Permasalahannya sekarang, pasca pelaksanaan uji sertifikasi sesuai amanah UU No.14 tahun 2005, ternyata perubahan nasib dan kesejahteraan guru yang telalah lulus uji sertifikasi melalui reward ’tunjangan profesi, tunjangan fungsional dan tunjangan khusus’ tak kunjung datang seperti yang diamatkan pada pasal 14–19 uandang-undang dimaksud. Ada rasa pesimis dan putus asa karena pemerintah tak segera merealisasikan ’tunjangan yang dijanjikan’, no rekening telah dibuka, tetapi ’tunjangan’ tak kunjung ditransfer. Apakah guru berteriak-teriak lantas melakukan demonstrasi? Sama sekali tidak. Guru tetap mengajar dan melaksanakan tugasnya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik seperti yang tercantum dalam Pasal 1 UU. No.14 tahun 2005.

Padahal akibat adanya sertifikasi, guru yang belum S1 segera melanjutkan pendidikannya bahkan diantaranya ada yang menggunakan dana pribadi, akibat sertifikasi hampir disetiap seminar pendidikan para guru tidak pernah absen, akibat sertifikasi pula para guru mulai rajin mengikuti aktifitas sosial meskipun hanya mengharapkan Surat Tugas, Surat Keputusan atau sekedar sertifikat saja. Tetapi dampak positifnya adalah adanya motivasi dari para guru untuk melakukan perubahan, perubahan menuju perbaikan pendidikan, motivasi menurut para ahli merupakan suatu dorongan dasar yang menggerakan seseorang bertingkah laku atau bertindak (Winata,1995).

Motivasi berasal dari kata bahasa Inggris yang berarti “Motivation” yang berati dorongan, sering diartikan pula sebagai kekauatan mental yang berupa keinginan, perhatian, kemauan atau cita-cita (Suryabrata,1984). Termotivasiya guru untuk terus memperbaiki diri dan meningkatkan profesionalisme guru, tidak semata-mata untuk mengejar ’tunjangan’ atau materi belaka, namun sebagai upaya peningkatan profesionalisme guru yang berdampak kepada kualitas peserta didik dan perkembangan kemajuan pendidikan, karena orientasi pendidikan sejatinya untuk masa depan anak-anak peserta didik, yang menurut Khalil Gibran sebagai pemilik masa depan, sementara kita pemilik masa lalu. (Ahmad Satim, staf pengajar SMP 2 Sepauk Sintang).



Kamis, 03 Juli 2008

Pemerintah Pusat Cuek Dengan Perbatasan...

Pemerintah RI Tak Serius Tangani Perbatasan Kalbar

Otonomi Khusus Harus Jadi Taruhan.

Gaung wacana politik pembentukan Provinsi Kapuas Raya di Kawasan Timur Kalbar, harusnya tidak dipahami hanya sebatas pemekaran secara administratif dan politis belaka, apa lagi hanya menciptakan penguasa-penguasa baru, tidak sama sekali. Pembentukan Kapuas Raya harusnya lebih ditekankan kepada bagaimana mempertahankan dan mensejahterakan rakyat yang berada di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, mengapa demikian?. Karena kawasan perbatasan Kalbar–Sarawak yang membentang sepanjang sekitar 850 kilometer, mempunyai luas sekitar 2,1 juta hektar, atau hampir seluas propinsi Nusa Tenggara Barat, atau propinsi Sulawesi Utara.

Secara administratif, kawasan ini meliputi 5 wilayah kabupaten dan 98 buah desa, dengan penduduk berjumlah sekitar 180.000 orang, atau kepadatannya hanya 9 orang per kilometer persegi. Terdapat sekitar 50 jalur jalan setapak yang menghubungkan 55 desa di Kalbar dengan 32 kampung di Sarawak, sementara yang disepakati kedua negara 10 buah desa di Kalbar dan 7 buah kampung di Sarawak - sedang yang ditetapkan sebagai pos lintas batas hanya satu buah, yaitu Entekong (Kalbar) – Tebedu (Sarawak).

Kawasan perbatasan Kalbar memiliki sejarah perkembangan dan pembangunan yang kurang menyenangkan. Sejak awal kemerdekaan kawasan ini jarang tersentuh oleh kegiatan pembangunan. Pada masa orde lama, kawasan ini menjadi salah satu tempat ajang konflik antara Pemerintah Indonesia-Malaysia. Sedang menjelang berakhirnya orde lama, kawasan ini menjadi ajang konflik antara kedua pemerintah menumpas GPK (Paraku/PGRS). Selanjutnya pada masa orde baru, kawasan ini diserahkan kepada PT. Jamaker Kalbar Jaya untuk dikelola hutannya (melalui HPH – sejak tahun 1967). Pengelolaan kawasan perbatasan selama ini lebih ditekankan pada pendekatan keamanan (security approach). Hingga presiden Habibie, Gus Dur, Megawati hingga SBY, kawasan perbatasan tersebut tidak pernah dilirik sama sekali.

Berdasarkan perjalanan pembangunan selama ini, potret kawasan perbatasan dapat digambarkan sebagai berikut :

a. Potensi sumber daya alam : hutan (virgin forest di areal Yamaker, semula sekitar 800.000 Ha – saat ini tinggal sekitar 80.000 Ha atau hanya 10% dan terletak sporadis), Taman Nasional Bentung Kerihun (TNBK) dan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) yang potensial untuk kegiatan wisata alam dan penelitian, tambang (batu bara) belum dimanfaatkan, dll.

b. Terbelakang dan terisolir (indikator desa tertinggal dan aksesibilitas rendah).

c. Menjadi hinterland Sarawak.

Kondisi di atas lebih sebagai implikasi dari belum adanya konsepsi pembangunan yang jelas (yang bersifat komprehensif dan integratif). Kalaupun ada biasanya berupa rencana pembangunan parsial dengan pendekatan sangat sektoral (misalnya kehutanan : Yamaker). Yang terjadi kemudian adalah eksploitasi kawasan hutan (legal dan ilegal) dengan sasaran pokok pertumbuhan ekonomi atau pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal (atau dari pada dicuri “tetangga”). Ini didukung lagi oleh perbedaan kesejahteraan yang menyolok antara Kalbar – Sarawak (tahun 1987 pendapatan per kapita Sarawak 3.640 US$ sedang Kalbar 250 US$), pasar dan aksesibilitas yang tinggi ke Sarawak, sampai dengan lemahnya pengawasan dan pengamanan kawasan perbatasan. Padahal sebagian kawasan perbatasan merupakan kawasan berfungsi lindung – dengan hulu-hulu sungai yang sangat penting bagi daerah bawahnya (catchment areas).

Ketiadaan konsep, menyebabkan pembangunan kawasan perbatasan terkesan tidak terencana dengan baik dengan implikasi degradasi sumber daya alam dan kualitas lingkungan, serta tidak tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat, terjadinya proses dehumanisasi (peminggiran masyarakat), dan dekulturisasi, serta secara makro mengarah pada disintegrasi wilayah – (terutama secara ekonomi).

Kawasan perbatasan sebetulnya bukanlah kawasan yang terlalu istimewa, kawasan ini sama saja dengan kawasan yang terletak di inland lainnya, yang mempunyai karakteristik fisik, sosial, dan ekonomi relatif sama dengan daerah bawahnya, kecuali kawasan ini mempunyai ciri-ciri :

A. Merupakan daerah dengan batas-batas administrasi atau teritorial negara yang tidak jelas, sehingga menjadi kawasan ini tak bertuan, artinya penguasaan lahan dapat dilakukan kedua masyarakat negara tanpa mengindahkan batas-batas negara. Hubungan kekerabatan antar masyarakat kedua negara telah menafikan batas-batas negara.

B. Tempat berlangsungnya kegiatan ilegal (pencurian, penyelundupan, dsb).

C. Masyarakat negara yang tingkat kesejahteraannya lebih rendah cenderung lebih menghargai masyarakat, negara, dan pimpinannya yang mempunyai tingkat kesejahteraan lebih tinggi.

D. Orientasi pembangungan cenderung pada kawasan yang tingkat kesejahteraannya lebih baik.

E. Masyarakat perbatasan sangat menyadari bahwa mereka tinggal di daerah yang sangat jauh dari pusat kekuasaan, karenanya kurang mendapat perhatian, bahkan ada ‘image’ wilayah mereka telah dieksploitasi sedemikian rupa sehingga hampir-hampir tidak menyisakan “kue” yang dapat mereka gunakan untuk kelangsungan hidup mereka (khususnya perbatasan Kalbar).

F. Mempunyai historis sebagai daerah ajang konflik antar kedua negara maupun oleh kekuatan-kekuatan “sempalan” lainnya yang dikenal dengan istilah Gerakan Pengacau Keamanan (GPK).

G. Merupakan pencerminan atau barometer pembangunan nasional dan daerah, yang berarti meliputi seluruh aspek kehidupan bangsa dan negara. Kalau daerah perbatasan semrawut, maka itu kemudian akan mencerminkan kesemrawutan wajah negara secara keseluruhan.

H. Merupakan kawasan bagi berlakunya hukum-hukum internasional, berkaitan dengan keimigrasian, kepabeanan, karantina dan lainnya.

Sintang-ku langka BBM.......

Sintang ku langka BBM, Listrik-pon “ngap-ngap baong”.............!

Calon Ibu Kota Provinsi Kapuas Raya itu kini mulai ‘memanas’. Air di aliran Sungai Kapuas dan Melawi mulai surut akibat kemarau yang beranjak panjang, padahal biasanya ada saja motor tongkang yang hilir mudik mengangkut kayu logg yang katanya punya perusahaan, tapi berapa persen untuk kesejahteraan masyarakat tidak ada yang tahu, keculi pemerintah saja.

Dan baru saja Sintang di kunjungi grup band ‘UNGU’ dan ‘LOBOW’ yang membius sekitar 20.000 penonton di Stadion Baning Sintang yang juga kadangnya ‘Pendekar Bukit Kelam’ (PERSISTA), ada Gawai Dayak Tahun 2008 di Indoor Apang Semangai, serta Olimpiade Olah Raga & Seni se-Kalbar tingkat SMP/MTs yang dibuka langsung oleh Gubernur Cornelis.

Ditengah ‘panasnya mentari’ yang menerik ketika siang hari, antrian BBM kembali terjadi di tiga lokasi SPBU, di kawasan Tugu Beji, Km 4 dan Sei Ukoi. Kendaraan roda dua hingga enam berjejer terkadang memenuhi badan jalan, hingga macet tak dapat dielakan lagi. Kemana larinya BBM hingga langka?. Padahal baru satu bulan harga BBM di naikan oleh pemerintahan SBY, tetapi harga BBM kian meroket yang berdampak pada naiknya pula harga Sembako yang kian tak mampu dijangkau oleh mayarakat kecil.

Tak hanya hilangnya BBM dari Bumi Senentang, tetapi listrik PLN dirumah juga sudah tidak setabil lagi, PLN beralasan pasokan BBM yang selama ini jadi bahan penggerak mesin listrik sudah kritis sehingga keputusan untuk mem’Byar-Pet-kan’ listrik di Sintang sudah tak terelakan lagi, dan Sintang semakin ‘memanas’.

Tapi kita bisa apa? Paling mungkin yang kita lakukan adalah berdo’a kepada Tuhan, meski kita terkadang tak tahu malu kepada-Nya. Sudalah kita tak pernah mengingatnya, bahkan mungkin untuk menyembahnya juga jarang tetapi permintaan kita kepada-Nya begitu kompleks. Sehingga sifat ‘tamak’ kita muncul dan selalu mencari ‘kambing hitam’.

Atau keahlian kita hanya bisa mengandalkan kepada para ilmuan ditanah air ini untuk segera mencari energi alternatif agar harga BBM menjadi terjangkau hingga harga kebutuhan pokok juga bisa diminimalisirkan. Kita juga berharap kepada para ahli yang ditopang pemerintah untuk segera ‘mempublikasikan’ apa yang mereka bisa untuk menyelesaikan krisis energi negeri ini. Mulai dari penelitian bio disel, bio fuel, blue enery, hyberd atau apapun namanya yang penting mampu menutupi kebutuhan energi kita (Mimpi kale’ ye..........ma’lom gi sangsot neh...!)

Selasa, 01 Juli 2008

Ini Tugu Si Beji-Sintang

Keraton Sintang-penyebaran Islam berawal dari sini

Kontemplasi Pemilu 2009

SELAMAT DATANG PEMILU 2009, SELAMAT DATANG DEMOKRASI?

(Berharap Kepada Aktivis Parpol di Daerah)

Bangsa Indonesia memang tengah dihadapkan kepada dilema-dilema kebangsaan yang amat pelik, termasuk di daerah kita (baca: Kalimantan Barat). Dilema-dilema kebangsaan ini tampak seperti bergerak dalam lingkaran benang kusut yang menuntut pembenahan serius. Media ini pernah mengungkap betapa banyak fasilitas pendidikan yang rusak, betapa pupuk bagi petani susah untuk didapatkan, betapa stabilitas ekonomi tak kunjung membaik, harga BBM terus melambung tinggi, sehingga harga sembako tak mampu dijangkau, betapa penegakan supremasi hukum kian amburadul hingga illegal logging, illegal fishing dan segudang masalah sosial lainnya masih mendera hingga sebagian kita bertanya, apakah sudah saatnya Tuhan menurunkan Imam Mahdi atau Ratu Adil atau bahkan Dajjal sekalipun?.

Harus diakui setiap bangsa dalam proses menemukan hakekat demokrasi, biasanya melalui sebuah proses yang amat panjang bergelombang dan kadang bersifat evolutif. Dalam proses penemuan jati diri demokrasi tentunya harus disadari oleh keterpaduan dan keseimbangan antara dorongan kerangka emosional yang bersumber dari nurani dan kerangka rasionalitas filosofis, historis serta sosiologis menuju kehidupan demokratis yang dimaksudkan. Untuk itu upaya penciptaan dan pemberdayaan kehidupan politik menuju demokrasi harus dilakukan secara bertahap dan tidak dapat dilakukan secara serta merta. Karena sifatnya yang begitu kompleks dan sofhisticated sehingga memerlukan tahapan dan memerlukan jeda waktu yang dikenal sebagai masa transisi.

Dan demokrasi bukanlah satu-satunya jalan keluar dalam mengatasi krisis yang terjadi, walaupun disadari pada umumnya jalan ini yang paling disukai dan dipilih. Francis Parker (1894), mengatakan bahwa secra tersirat demokrasi merupakan suatu proses sosial yang merupakan tanggung jawab bersama suatu masyarakat. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.

Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.

Pascah runtuhnya rezim otoritarian mendiang Suharto pada 21 Mei 1998, praktis Indonesia mulai beralih ke sistem demokratis. Menurut Valina Singka Subekti, mantan anggota KPU bahwa demoratisasi bukanlah fenomena khas Indonesia tetapi melainkan fenomena global berkaitan dengan gelombang demokratisasi ketiga yang berlangsung secara simultan dan sporadis dibanyak negara, hingga menjalar ke asia termasuk Indonesia. David Potter menegaskan bahwa demokratisasi erat kaitannya dengan transisi demokrasi. Demokratisasi adalah perubahan politik yang bergerak kearah demokrasi. Sementara transisi demokrasi adalah titik awal atau interval antara rezim otoritarian dengan dengan rezim demokratis.

Sejalan dengan semangat reformasi dan ditandai dengan adanya perubahan secara gradual terhadap konstitusi yang mendukung berkembangnya demokratisasi, maka tak pelak banyak hal yang berubah dalam sistem ketatanegaraan kita. Masih menurut Valina yang mengutip Robert Dahl mengatakan pentingnya merancang konstitusi yang demokratis untuk menentukan kelangsungan hidup lembaga-lembaga demokrasi. Menurutnya, konstitusi yang demokratis mengadung beberapa unsur antara lain; pernyataan hak-hak asasi manusia, pernyataan hak-hak social dan ekonomi, bentuk negara kesatuan atau federal, lembaga parlemen dengan satu kamar atau dua kamar, pengaturan sistem kekuasaan yudikatif, sistem pemerintahan presidensial atau parlementer, penganturan mengenai amandemen konstitusi dan referendum serta pemilihan.

Paska amandemen konstitusi Indonesia banyak bergerak kearah demokratisasi yang ideal. Pemilu 2004 dan produk yang dihasilkannya sedikt banyak telah menggambarkan demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia. Ada sistem parlemen yang soft becameral dengan hadirnya DPD sebagai adopsi atas keterwakilan kepentingan politik daerah dan pemilihan presiden langsung oleh rakyat adalah bukti demokratisasi sudah berjalan pada jalurnya (on the track). Namun proses ini akan sungguh tercederai jika elit-elit partai politik tidak menyadari posisi dalam merespon dan memberikan berbagai opini seputar nasib rakyat atau setidak para pemilih yang mengantarkannya di kursi parlemen.

Karena menurut Valina dapat dikatakan elit politik adalah sekumpulan orang-orang yang menduduki jabatan politik tertentu yang punya kekuasaan menentukan keputusan-keputusan politik yang akan berdampak pada kehidupan masyarakat luas. Sistem politik Indonesia telah menempatkan Partai Politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, tak ada demokrasi tanpa Partai Politik, meski kemudian Mahkamah Konstitusi mengamini calon perseorangan untuk tampil dalam Pilkada dan Pilpres tanpa lewat jalur partai. Karena begitu pentingnya peran Partai Politik, maka untuk Pemilu 2009 nanti jauh hari telah ditelurkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Peraturan perundang-undangan ini diharapkan mampu menjamin pertumbuhan Partai Politik yang baik, sehat, efektif dan fungsional.

Dengan kondisi Partai Politik yang sehat dan fungsional, maka memungkinkan untuk melaksanakan rekrutmen pemimpin atau proses pengkaderan, pendidikan politik dan kontrol sosial yang sehat. Makna dari ini semua adalah, bahwa proses politik dalam Pemilihan Umum (Pemilu), jangan sampai mengebiri atau bahkan menghilangkan peran dan eksistensi Partai Politik. Kalaupun saat ini masyarakat mempunyai penilaian negatif terhadap Partai Politik, bukan berarti lantas menghilangkan eksistensi partai dalam sistem ketatanegaraan. Semua yang terjadi sekarang hanyalah bagian dari proses demokrasi.

Menjadikan Partai Politik yang sehat dan fungsional memang bukan perkara mudah. Diperlukan sebuah landasan yang kuat untuk menciptakan Partai Politik yang benar-benar berfungsi sebagai alat artikulasi masyarakat. Bagi Indonesia, pertumbuhan Partai Politik telah mengalami pasang surut. Kehidupan Partai Politik baru dapat di lacak kembali mulai tahun 1908. Pada tahap awal, organisasi yang tumbuh pada waktu itu seperti Budi Oetomo belum bisa dikatakan sebagaimana pengertian Partai Politik secara modern. Budi Utomo tidak diperuntukkan untuk merebut kedudukan dalam negara di dalam persaingan melalui Pemilihan Umum. Juga tidak dalam arti organisasi yang berusaha mengendalikan proses politik. Budi Oetomo dalam tahun-tahun itu tidak lebih dari suatu gerakan kultural, untuk meningkatkan kesadaran orang-orang Jawa.

Bisa jadi partai dalam arti modern sebagai suatu organisasi massa yang berusaha untuk mempengaruhi proses politik, merombak kebijaksanaan dan mendidik para pemimpin dan mengejar penambahan anggota, baru lahir sejak didirikan Sarekat Islam pada tahun 1912. Sejak itulah partai dianggap menjadi wahana yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan nasionalis. Selang beberapa bulan, lahir sebuah partai yang di dirikan Douwes Dekker guna menuntut kebebasan dari Hindia Belanda. Dua partai inilah yang bisa dikatakan sebagai cikal bakal semua Partai Politik dalam arti yang sebenarnya yang kemudian berkembang di Indonesia.

Roger F Saltou yang mendefinisikan partai politik sebagai kelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisasikan, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan umum yang mereka buat. Mengacu pada dua definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa partai politik merupakan hasil pengorganisasian dari sekelompok orang agar memperoleh kekuasaan untuk menjalankan program yang telah direncanakan. Di negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah ditangan rakyat, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik. Partai partai politik berusaha untuk merebut konstituen dalam masa pemilu. Partai politik selanjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif. Dalam pemilihan umum legislatif secara langsung seperti yang terjadi di Indonesia dalam Pemilu 2004 maka calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat.

Fungsi-Fungsi Partai Politik

Partai politik sebagai sebuah instrumen politik dari beberapa reprensi memiliki beberapa macam fungsi partai politik diantaranya. Pertama, melakukan sosialisasi politik, pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat Kedua, rekrutmen politik yaitu seleksi dan pemilihan atau pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik. Ketiga, partisipasi politik, kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan ikut menentukan pemimpin pemerintahan. Empat, pemandu kepentingan, mengatur lalu lintas kepentingan yang seringkali bertentangan dan memiliki orientasi keuntungan sebanyak-banyaknya.

Lima, komunikasi politik, partai politik melakukan proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Enam, pengendalian konflik, partai politik melakukan pengendalian konflik mulai dari perbedaan pendapat sampai pada pertikaian fisik antar individu atau kelompok. Tujuh, Kontrol politik, partai politik melakukan kegiatan untuk menunjukan kesalahan, kelemahan dan penyimpangan dalam isi kebijakan atau pelaksaan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Partai politik adalah kendaraan kepentingan untuk mencari kemungkinan. Tidak ada nasib yang diterima, tidak ada takdir yang diakui dalam poliitk. Kodrat yang ada hanyalah berpolitik itu sendiri. Semakin tinggi kekuasaan legislatif, semakin tinggi pula untuk melihat ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah. Itulah partai politik di Indonesia, yang hari-hari disibukkan untuk mempertahankan eksistensi kekuatan partai politiknya. Politik adalah bagian dari kebudayaan, dan politik tidak pernah menjadi berbudaya jika pandangan kita tentang kebudayaan hanya sebatas hanya untuk mencari eksistensi. Meriam Budiardjo, menekankan kepada organisasi politik yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai dan cita-cita sama yang tujuan utamanya untuk memperoleh kekuasaan dan kedudukan politik. Berdasarkan batasan Budiardjo, basis sosiologi partai politik selain ideologi yang disampaikan oleh Mark N Hagopi juga kepentingan yang digunakan untuk mendapatkan kekuasaan politik.

Menguraikan konsep kekuasaan politik kita perlu melihat pada kedua elemennya, yakni kekuasaan dari akar kata kuasa dan politik yang berasal dari bahasa Yunani Politeia (berarti kiat memimpin kota). Sedangkan kuasa dan kekuasaan kerapa dikaitkan dengan kemampuan untuk membuat gerak yang tanpa kehadiran kuasa (kekuasaan) tidak akan terjadi, misalnya kita bisa menyuruh adik kita berdiri yang tak akan dia lakukan tanpa perintah kita (untuk saat itu) maka kita memiliki kekuasaan atas adik kita. Kekuasaan politik dengan demikian adalah kemampuan untuk membuat masyarakat dan negara membuat keputusan yang tanpa kehadiran kekuasaan tersebut tidak akan dibuat oleh mereka. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002) Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).

Bila seseorang, suatu organisasi, atau suatu partai politik bisa mengorganisasi sehingga berbagai badan negara yang relevan misalnya membuat aturan yang melarang atau mewajibkan suatu hal atau perkara maka mereka mempunyai kekuasaan politik. Variasi yang dekat dari kekuasaan politik adalah kewenangan (authority), kemampuan untuk membuat orang lain melakukan suatu hal dengan dasar hukum atau mandat yang diperoleh dari suatu kuasa. Seorang polisi yang bisa menghentian mobil di jalan tidak berarti dia memiliki kekuasaan tetapi dia memiliki kewenangan yang diperolehnya dari UU Lalu Lintas, sehingga bila seorang pemegang kewenangan melaksankan kewenangannya tidak sesuai dengan mandat peraturan yang ia jalankan maka dia telah menyalahgunakan wewenangnya, dan untuk itu dia bisa dituntut dan dikenakan sanksi. Sedangkan kekuasaan politik, tidak berdasar dari UU tetapi harus dilakukan dalam kerangka hukum yang berlaku sehingga bisa tetap menjadi penggunaan kekuasaan yang konstitusional.

Pemilu sebagai jembatan demokrasi.

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sarana dan pencerminan hak warga negara untuk berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat melalui media politik yang ada. Dalam UU.No.10/Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD dan DPRD, Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sementara menurut Gisberg Pemilu merupakan sarana legitimasi politik untuk mengubah suatu keterlibatan politik massa dari yang bersifat sporadis dan dapat membahayakan menjadi sumber utama bagi otoritas dan kekuatan politik nasional.

Makna Pemilu yang paling esensial bagi suatu kehidupan politik yang demokratis adalah sebagai institusi pergantian dan perebutan kekuasaan yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika sehingga sirkulasi elite politik dapat dilakukan secara damai dan beradab. Agar Pemilu 2009 dapat menjadi agenda pelembagaan proses politik yang demokratis, diperlukan kesungguhan, terutama dari anggota parlemen, untuk tidak terjebak dalam permainan politik yang oportunistik, khususnya dalam memperjuangkan agenda subyektif masing-masing. Orientasi sempit dan egoisme politik harus dibuang jauh-jauh. Apa lagi hanya berorientasi pada tahta, harta dan wanita.

Menurut J. Kristiadi, ada beberapa pilar dalam pelaksanaan Pemilu yang harus diperhatikan. Pertama, diperlukan penyelenggara pemilu yang benar-benar independen. Persyaratan ini amat penting bagi terselenggaranya pemilu yang adil dan jujur.

Kedua, pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu supaya lebih efektif dari Pemilu 2004.. Pengawasan dilakukan terhadap seluruh tahapan kegiatan pemilu. Tugas lembaga pengawas adalah menampung, menindaklanjuti, membuat penyelidikan, dan memberi sanksi terhadap pelanggaran pemilu.

Ketigat, money politics. Mencegah habis-habisan permainan uang dalam pemilu mendatang amat penting sekali. Upaya itu amat perlu dilakukan mengingat money politics dewasa ini telah merebak luas dan mendalam dalam kehidupan pilih-memilih pemimpin mulai dari elite politik sampai di beberapa organisasi sosial dan kemahasiswaan. Karena itu, kontrol terhadap dana kampanye harus lebih ketat. Misalnya, batasan sumbangan berupa uang, mengonversikan utang dan sumbangan barang dalam bentuk perhitungan rupiah, dilarang memperoleh bantuan dari sumber asing dan APBN/APBD, lebih-lebih sumber ilegal dan tentu saja hukuman pidana yang tegas dan setimpal bagi para pelanggarnya.

Keempat, pendidikan politik perlu segera dilakukan baik oleh organisasi masyarakat dan partai politik. Bagaimanapun, disetiap penyelenggaraan Pemilu masih mengandung unsur-unsur baru serta detail-detail yang sangat perlu diketahui oleh masyarakat luas. Pendidikan politik menurut Alpian (1991) merupakan usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka mengalami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Oleh karena itu partisifasi politik masyarakat amat menentukan.

Partisifasi politik masyarakat, bukan hanya pada posisi objek politik, tetapi lebih dapat juga menjadi bagian subjek politik. Antoni Gramsci mengatakan bahwa tanpa parstispasi masyarakat, perjalanan politik sebuah bangsa hanya sebuah khayalan belakan. Partisipasi secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.

Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative democracy atau demokrasi musawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul antara lain terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang terlihat dengan rendahnya tingkat pemilih. Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam proses politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang dengan konsep deliberative democracy. (Ahmad Satim, Penulis berdomisili di Sintang)