SELAMAT DATANG PEMILU 2009, SELAMAT DATANG DEMOKRASI?
(Berharap Kepada Aktivis Parpol di Daerah)
Bangsa Indonesia memang tengah dihadapkan kepada dilema-dilema kebangsaan yang amat pelik, termasuk di daerah kita (baca: Kalimantan Barat). Dilema-dilema kebangsaan ini tampak seperti bergerak dalam lingkaran benang kusut yang menuntut pembenahan serius. Media ini pernah mengungkap betapa banyak fasilitas pendidikan yang rusak, betapa pupuk bagi petani susah untuk didapatkan, betapa stabilitas ekonomi tak kunjung membaik, harga BBM terus melambung tinggi, sehingga harga sembako tak mampu dijangkau, betapa penegakan supremasi hukum kian amburadul hingga illegal logging, illegal fishing dan segudang masalah sosial lainnya masih mendera hingga sebagian kita bertanya, apakah sudah saatnya Tuhan menurunkan Imam Mahdi atau Ratu Adil atau bahkan Dajjal sekalipun?.
Harus diakui setiap bangsa dalam proses menemukan hakekat demokrasi, biasanya melalui sebuah proses yang amat panjang bergelombang dan kadang bersifat evolutif. Dalam proses penemuan jati diri demokrasi tentunya harus disadari oleh keterpaduan dan keseimbangan antara dorongan kerangka emosional yang bersumber dari nurani dan kerangka rasionalitas filosofis, historis serta sosiologis menuju kehidupan demokratis yang dimaksudkan. Untuk itu upaya penciptaan dan pemberdayaan kehidupan politik menuju demokrasi harus dilakukan secara bertahap dan tidak dapat dilakukan secara serta merta. Karena sifatnya yang begitu kompleks dan sofhisticated sehingga memerlukan tahapan dan memerlukan jeda waktu yang dikenal sebagai masa transisi.
Dan demokrasi bukanlah satu-satunya jalan keluar dalam mengatasi krisis yang terjadi, walaupun disadari pada umumnya jalan ini yang paling disukai dan dipilih. Francis Parker (1894), mengatakan bahwa secra tersirat demokrasi merupakan suatu proses sosial yang merupakan tanggung jawab bersama suatu masyarakat. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Pascah runtuhnya rezim otoritarian mendiang Suharto pada 21 Mei 1998, praktis Indonesia mulai beralih ke sistem demokratis. Menurut Valina Singka Subekti, mantan anggota KPU bahwa demoratisasi bukanlah fenomena khas Indonesia tetapi melainkan fenomena global berkaitan dengan gelombang demokratisasi ketiga yang berlangsung secara simultan dan sporadis dibanyak negara, hingga menjalar ke asia termasuk Indonesia. David Potter menegaskan bahwa demokratisasi erat kaitannya dengan transisi demokrasi. Demokratisasi adalah perubahan politik yang bergerak kearah demokrasi. Sementara transisi demokrasi adalah titik awal atau interval antara rezim otoritarian dengan dengan rezim demokratis.
Sejalan dengan semangat reformasi dan ditandai dengan adanya perubahan secara gradual terhadap konstitusi yang mendukung berkembangnya demokratisasi, maka tak pelak banyak hal yang berubah dalam sistem ketatanegaraan kita. Masih menurut Valina yang mengutip Robert Dahl mengatakan pentingnya merancang konstitusi yang demokratis untuk menentukan kelangsungan hidup lembaga-lembaga demokrasi. Menurutnya, konstitusi yang demokratis mengadung beberapa unsur antara lain; pernyataan hak-hak asasi manusia, pernyataan hak-hak social dan ekonomi, bentuk negara kesatuan atau federal, lembaga parlemen dengan satu kamar atau dua kamar, pengaturan sistem kekuasaan yudikatif, sistem pemerintahan presidensial atau parlementer, penganturan mengenai amandemen konstitusi dan referendum serta pemilihan.
Paska amandemen konstitusi Indonesia banyak bergerak kearah demokratisasi yang ideal. Pemilu 2004 dan produk yang dihasilkannya sedikt banyak telah menggambarkan demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia. Ada sistem parlemen yang soft becameral dengan hadirnya DPD sebagai adopsi atas keterwakilan kepentingan politik daerah dan pemilihan presiden langsung oleh rakyat adalah bukti demokratisasi sudah berjalan pada jalurnya (on the track). Namun proses ini akan sungguh tercederai jika elit-elit partai politik tidak menyadari posisi dalam merespon dan memberikan berbagai opini seputar nasib rakyat atau setidak para pemilih yang mengantarkannya di kursi parlemen.
Karena menurut Valina dapat dikatakan elit politik adalah sekumpulan orang-orang yang menduduki jabatan politik tertentu yang punya kekuasaan menentukan keputusan-keputusan politik yang akan berdampak pada kehidupan masyarakat luas. Sistem politik Indonesia telah menempatkan Partai Politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, tak ada demokrasi tanpa Partai Politik, meski kemudian Mahkamah Konstitusi mengamini calon perseorangan untuk tampil dalam Pilkada dan Pilpres tanpa lewat jalur partai. Karena begitu pentingnya peran Partai Politik, maka untuk Pemilu 2009 nanti jauh hari telah ditelurkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Peraturan perundang-undangan ini diharapkan mampu menjamin pertumbuhan Partai Politik yang baik, sehat, efektif dan fungsional.
Dengan kondisi Partai Politik yang sehat dan fungsional, maka memungkinkan untuk melaksanakan rekrutmen pemimpin atau proses pengkaderan, pendidikan politik dan kontrol sosial yang sehat. Makna dari ini semua adalah, bahwa proses politik dalam Pemilihan Umum (Pemilu), jangan sampai mengebiri atau bahkan menghilangkan peran dan eksistensi Partai Politik. Kalaupun saat ini masyarakat mempunyai penilaian negatif terhadap Partai Politik, bukan berarti lantas menghilangkan eksistensi partai dalam sistem ketatanegaraan. Semua yang terjadi sekarang hanyalah bagian dari proses demokrasi.
Menjadikan Partai Politik yang sehat dan fungsional memang bukan perkara mudah. Diperlukan sebuah landasan yang kuat untuk menciptakan Partai Politik yang benar-benar berfungsi sebagai alat artikulasi masyarakat. Bagi Indonesia, pertumbuhan Partai Politik telah mengalami pasang surut. Kehidupan Partai Politik baru dapat di lacak kembali mulai tahun 1908. Pada tahap awal, organisasi yang tumbuh pada waktu itu seperti Budi Oetomo belum bisa dikatakan sebagaimana pengertian Partai Politik secara modern. Budi Utomo tidak diperuntukkan untuk merebut kedudukan dalam negara di dalam persaingan melalui Pemilihan Umum. Juga tidak dalam arti organisasi yang berusaha mengendalikan proses politik. Budi Oetomo dalam tahun-tahun itu tidak lebih dari suatu gerakan kultural, untuk meningkatkan kesadaran orang-orang Jawa.
Bisa jadi partai dalam arti modern sebagai suatu organisasi massa yang berusaha untuk mempengaruhi proses politik, merombak kebijaksanaan dan mendidik para pemimpin dan mengejar penambahan anggota, baru lahir sejak didirikan Sarekat Islam pada tahun 1912. Sejak itulah partai dianggap menjadi wahana yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan nasionalis. Selang beberapa bulan, lahir sebuah partai yang di dirikan Douwes Dekker guna menuntut kebebasan dari Hindia Belanda. Dua partai inilah yang bisa dikatakan sebagai cikal bakal semua Partai Politik dalam arti yang sebenarnya yang kemudian berkembang di Indonesia.
Roger F Saltou yang mendefinisikan partai politik sebagai kelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisasikan, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan umum yang mereka buat. Mengacu pada dua definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa partai politik merupakan hasil pengorganisasian dari sekelompok orang agar memperoleh kekuasaan untuk menjalankan program yang telah direncanakan. Di negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah ditangan rakyat, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik. Partai partai politik berusaha untuk merebut konstituen dalam masa pemilu. Partai politik selanjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif. Dalam pemilihan umum legislatif secara langsung seperti yang terjadi di Indonesia dalam Pemilu 2004 maka calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat.
Fungsi-Fungsi Partai Politik
Partai politik sebagai sebuah instrumen politik dari beberapa reprensi memiliki beberapa macam fungsi partai politik diantaranya. Pertama, melakukan sosialisasi politik, pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat Kedua, rekrutmen politik yaitu seleksi dan pemilihan atau pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik. Ketiga, partisipasi politik, kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan ikut menentukan pemimpin pemerintahan. Empat, pemandu kepentingan, mengatur lalu lintas kepentingan yang seringkali bertentangan dan memiliki orientasi keuntungan sebanyak-banyaknya.
Lima, komunikasi politik, partai politik melakukan proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Enam, pengendalian konflik, partai politik melakukan pengendalian konflik mulai dari perbedaan pendapat sampai pada pertikaian fisik antar individu atau kelompok. Tujuh, Kontrol politik, partai politik melakukan kegiatan untuk menunjukan kesalahan, kelemahan dan penyimpangan dalam isi kebijakan atau pelaksaan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Partai politik adalah kendaraan kepentingan untuk mencari kemungkinan. Tidak ada nasib yang diterima, tidak ada takdir yang diakui dalam poliitk. Kodrat yang ada hanyalah berpolitik itu sendiri. Semakin tinggi kekuasaan legislatif, semakin tinggi pula untuk melihat ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah. Itulah partai politik di Indonesia, yang hari-hari disibukkan untuk mempertahankan eksistensi kekuatan partai politiknya. Politik adalah bagian dari kebudayaan, dan politik tidak pernah menjadi berbudaya jika pandangan kita tentang kebudayaan hanya sebatas hanya untuk mencari eksistensi. Meriam Budiardjo, menekankan kepada organisasi politik yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai dan cita-cita sama yang tujuan utamanya untuk memperoleh kekuasaan dan kedudukan politik. Berdasarkan batasan Budiardjo, basis sosiologi partai politik selain ideologi yang disampaikan oleh Mark N Hagopi juga kepentingan yang digunakan untuk mendapatkan kekuasaan politik.
Menguraikan konsep kekuasaan politik kita perlu melihat pada kedua elemennya, yakni kekuasaan dari akar kata kuasa dan politik yang berasal dari bahasa Yunani Politeia (berarti kiat memimpin kota). Sedangkan kuasa dan kekuasaan kerapa dikaitkan dengan kemampuan untuk membuat gerak yang tanpa kehadiran kuasa (kekuasaan) tidak akan terjadi, misalnya kita bisa menyuruh adik kita berdiri yang tak akan dia lakukan tanpa perintah kita (untuk saat itu) maka kita memiliki kekuasaan atas adik kita. Kekuasaan politik dengan demikian adalah kemampuan untuk membuat masyarakat dan negara membuat keputusan yang tanpa kehadiran kekuasaan tersebut tidak akan dibuat oleh mereka. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002) Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).
Bila seseorang, suatu organisasi, atau suatu partai politik bisa mengorganisasi sehingga berbagai badan negara yang relevan misalnya membuat aturan yang melarang atau mewajibkan suatu hal atau perkara maka mereka mempunyai kekuasaan politik. Variasi yang dekat dari kekuasaan politik adalah kewenangan (authority), kemampuan untuk membuat orang lain melakukan suatu hal dengan dasar hukum atau mandat yang diperoleh dari suatu kuasa. Seorang polisi yang bisa menghentian mobil di jalan tidak berarti dia memiliki kekuasaan tetapi dia memiliki kewenangan yang diperolehnya dari UU Lalu Lintas, sehingga bila seorang pemegang kewenangan melaksankan kewenangannya tidak sesuai dengan mandat peraturan yang ia jalankan maka dia telah menyalahgunakan wewenangnya, dan untuk itu dia bisa dituntut dan dikenakan sanksi. Sedangkan kekuasaan politik, tidak berdasar dari UU tetapi harus dilakukan dalam kerangka hukum yang berlaku sehingga bisa tetap menjadi penggunaan kekuasaan yang konstitusional.
Pemilu sebagai jembatan demokrasi.
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sarana dan pencerminan hak warga negara untuk berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat melalui media politik yang ada. Dalam UU.No.10/Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD dan DPRD, Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sementara menurut Gisberg Pemilu merupakan sarana legitimasi politik untuk mengubah suatu keterlibatan politik massa dari yang bersifat sporadis dan dapat membahayakan menjadi sumber utama bagi otoritas dan kekuatan politik nasional.
Makna Pemilu yang paling esensial bagi suatu kehidupan politik yang demokratis adalah sebagai institusi pergantian dan perebutan kekuasaan yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika sehingga sirkulasi elite politik dapat dilakukan secara damai dan beradab. Agar Pemilu 2009 dapat menjadi agenda pelembagaan proses politik yang demokratis, diperlukan kesungguhan, terutama dari anggota parlemen, untuk tidak terjebak dalam permainan politik yang oportunistik, khususnya dalam memperjuangkan agenda subyektif masing-masing. Orientasi sempit dan egoisme politik harus dibuang jauh-jauh. Apa lagi hanya berorientasi pada tahta, harta dan wanita.
Menurut J. Kristiadi, ada beberapa pilar dalam pelaksanaan Pemilu yang harus diperhatikan. Pertama, diperlukan penyelenggara pemilu yang benar-benar independen. Persyaratan ini amat penting bagi terselenggaranya pemilu yang adil dan jujur.
Kedua, pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu supaya lebih efektif dari Pemilu 2004.. Pengawasan dilakukan terhadap seluruh tahapan kegiatan pemilu. Tugas lembaga pengawas adalah menampung, menindaklanjuti, membuat penyelidikan, dan memberi sanksi terhadap pelanggaran pemilu.
Ketigat, money politics. Mencegah habis-habisan permainan uang dalam pemilu mendatang amat penting sekali. Upaya itu amat perlu dilakukan mengingat money politics dewasa ini telah merebak luas dan mendalam dalam kehidupan pilih-memilih pemimpin mulai dari elite politik sampai di beberapa organisasi sosial dan kemahasiswaan. Karena itu, kontrol terhadap dana kampanye harus lebih ketat. Misalnya, batasan sumbangan berupa uang, mengonversikan utang dan sumbangan barang dalam bentuk perhitungan rupiah, dilarang memperoleh bantuan dari sumber asing dan APBN/APBD, lebih-lebih sumber ilegal dan tentu saja hukuman pidana yang tegas dan setimpal bagi para pelanggarnya.
Keempat, pendidikan politik perlu segera dilakukan baik oleh organisasi masyarakat dan partai politik. Bagaimanapun, disetiap penyelenggaraan Pemilu masih mengandung unsur-unsur baru serta detail-detail yang sangat perlu diketahui oleh masyarakat luas. Pendidikan politik menurut Alpian (1991) merupakan usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka mengalami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Oleh karena itu partisifasi politik masyarakat amat menentukan.
Partisifasi politik masyarakat, bukan hanya pada posisi objek politik, tetapi lebih dapat juga menjadi bagian subjek politik. Antoni Gramsci mengatakan bahwa tanpa parstispasi masyarakat, perjalanan politik sebuah bangsa hanya sebuah khayalan belakan. Partisipasi secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.
Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative democracy atau demokrasi musawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul antara lain terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang terlihat dengan rendahnya tingkat pemilih. Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam proses politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang dengan konsep deliberative democracy. (Ahmad Satim, Penulis berdomisili di Sintang)